Cerpen - Balasan Seorang Pahlawan

Ketika aku sedang berjalan-jalan di alun-alun kota, tiba-tiba terdengar teriakkan seseorang…

“Toloooggg!!! Tolooonggg!!!” Teriak seorang gadis dihadapanku.

Segera aku berlari menghampiri asal suara tersebut.

“Ada apa mbak?” Tanyaku panik.

Balasan Seorang Pahlawan
Antologi 15 Cerpen Terbaik: Pistol Wak Dolah
“Saya di jambret! Tolong kejarkan! Didalamnya ada barang berharga!” Mohon gadis tersebut.

Tanpa pikir panjang, segera aku lari mengejar jambret tersebut. Dengan modal pengalaman berkelahi, akhirnya aku memberanikan diri untuk melawan jambret tersebut. Setelah aku bertemu dengannya, segera aku tendang kakinya hingga jatuh tersungkur ke tanah. Namun, Jambret itu bangun dan menatapku dengan tatapan tajam. Tatapan seperti ingin membunuhku saat ini juga. Jujur, disini aku takut. Walaupun sudah sering berkelahi, namun baru kali ini aku berhadapan dengan jambret yang berwajah seram sepertinya.

Si jambret berlari kearahku dan berhasil memukulku beberapa kali. Alhasil, wajahku bonyok dan memar-memar. Aku pun jatuh ke tanah. Setelah melihatku jatuh, si jambret lari melarikan diri. Dengan sekuat tenaga, aku mencoba untuk bangun dan mengambil balok kayu disebelahku. Aku melempar kayu tersebut, dan tepat mengenai punggung jambret tersebut. Si jambret pun jatuh ke tanah. Dengan sekuat tenaga aku berlari menuju jambret tersebut dan menendang tubuhnya hingga jatuh ke got. Akhirnya, si jambret pun KO. Aku mengambil tas yang dia ambil dan segera menuju gadis tadi untuk mengembalikannya.

“Mbak ini tas-nya kan?” Tanyaku memastikan sambil menyerahkan tas miliknya.

“Oh iya, makasih dik.” Jawabnya sambil mengambil tas tersebut.

“Iya mbak sama-sama.” Balasku dengan senyum lebar.

“Dik ngomong-ngomong itu wajah kamu bonyok gitu, kakak obatin dulu ya?” Ucapnya ketika melihat memar di sekitar wajahku.

“Gak usah mbak, aku gapapa kok.” Tolakku halus.

“Eh jangan gitu, itu luka kamu parah loh. Ayo aku obatin dulu di rumah.” Jawabnya sambil menuntun tanganku.

“Ya udah deh mbak.” Ucapku yang tak enak  apabila menolak tawarannya.

Akhirnya aku digandeng menuju rumahnya. Ternyata rumahnya cukup jauh dari alun-alun tempat pertemuan kami tadi.

Setelah lelah berjalan, akhirnya aku sampai juga di rumah gadis tersebut. Rumah sederhana yang menurutku sangat bersih dan nyaman. Rumah tersebut terletak di pinggiran kota. Namun walaupun begitu aku kagum. Kagum akan sawah yang sangat luas terhampat didepan rumahnya. Karena jarang sekali aku menemukan sawah di kota metropolitan seperti kotaku. Namun aku kembali sadar setelah ditarik oleh gadis tersebut. Dan kami pun masuk ke dalam.
Setelah dipersilahkan duduk, aku segera duduk di sofa lapuk miliknya. Jujur, lelah sekali kakiku ini berjalan. Sementara aku duduk dan mengistirahatkan kakiku, gadis tersebut masuk ke dalam kamar untuk mengambil kapas dan alkohol untuk mengobati luka-lukaku.

Sementara dia masuk ke dalam kamar, aku melihat foto-foto yang dipajang di dinding. Aku melihat foto ketika dia bersama gubernur dengan menggunakan seragam Paskibrakanya. Ketika aku sedang asik melihat-lihat, tiba-tiba dia keluar dari dalam kamarnya.

“Eh lagi ngeliatin apaan?” Tanyanya sambil membawa alkohol dan kapas.

“Mbak anggota Paskibraka ya?” Tanyaku memastikan.

“Iya dulu, waktu aku masih di SMA.”

“Ohh, ngomong-ngomong nama mbak siapa sih?” Tanyaku memulai topik pembicaraan.

“Nama aku Nadia. Kamu jangan manggil mbak dong, emang aku keliatan tua banget ya? Padahal aku baru setahun lulus SMA loh” Ucapnya sambil duduk di sofa.

“Engga kok. Yaudah aku panggil kakak aja ya?” Kataku sambil duduk disebelahnya.

“Yaudah deh boleh.” Jawabnya sambil mengambil beberapa kapas untuk lukaku.

“Ngomong-ngomong didalem tas tadi itu ada apa sih kak? Kok sampe dipertahanin banget.” Tanyaku penasaran.

Kak Nadia memandang tajam ke arahku. Dia menyimpan kapas yang dia pegang lalu mengambil tas tadi dan mengeluarkan isinya.

“(Itu kan cuma peci dan sarung tangan putih biasa.)” Gumamku dalam hati.

“Ini peci dan sarung tangan waktu aku mengibarkan bendera merah putih di depan Gubernur.” Katanya sambil memegang erat topi tersebut.

“(Ohh.. Pasti itu barang berharga buat dia.)” Gumamku lagi dari dalam hati.

“Ya mungkin ini satu-satunya cara aku membalas jasa untuk negeri ini.” Lanjutnya sambil tersenyum menatap topi tersebut.

“Kok jadi ngelantur gini sih? aku mulai obatin kamu aja ya?” Ucapnya sambil memasukkan kembali peci dan sarung tangannya kedalam tas.

Dia pun mulai mengobati luka-lukaku. Namun ketika dia mengusap luka disekitar mataku, aku baru sadar, gadis yang aku temui ini ternyata cantik sekali! Bila dilihat lebih jelas, wajahnya mirip artis-artis di televisi. Mungkin inilah yang mampu merubah sikapku. Dari yang biasanya liar menjadi luluh seperti ini. Selain cantik, dia juga perhatian dan baik. Ah, andai saja dia menjadi kakakku, mungkin aku tidak akan senakal ini.

Ketika aku memikirkan hal tersebut, tiba-tiba Kak Nadia menyadarkanku.

“Ngomong-ngomong nama kamu siapa?” Ucapnya sambil mengobati luka-lukaku.

“Febrian kak.”

“Ohh, kelas berapa?” Tanyanya sambil mengganti kapas yang dipakainya.

“Baru kelas dua SMA kak.” Jawabku sambil meringis kesakitan.

“Waahh hebat banget kamu, baru kelas dua SMA tapi udah berani ngelawan jambret.” Ucapnya kagum padaku.

“Aduuuhhh, sakitt kaakk!!” Responku kesakitan karena Kak Nadia sengaja menekan kapasnya di lukaku.

Setelah selesai mengobati luka-lukaku, aku bertanya padanya.

“Eh ngomong-ngomong Kakak tinggal sama siapa disini?”

“Aku tinggal sama Bunda, Ayahku meninggal tahun lalu karena serangan jantung.” Jawabnya tertunduk sambil membereskan kapas dan alkohol tadi.

“Oh maaf banget kak. Ngomong-ngomong Bunda mana kak?” Tanyaku penasaran.

“Bunda lagi kerja di sawah, bentar lagi juga pulang kok.” Ucapnya sambil masuk ke dalam kamar untuk menyimpan kembali kapas dan alkohol tadi.

Tak lama menunggu, Bunda pulang ke rumah. Aku kagum dengan Bunda, walaupun hanya mendapat istirahat sebentar, namun dia menyempatkan diri untuk pulang ke rumah. Berbeda sekali dengan keluargaku, Ibuku selalu sibuk dengan urusannya, dan Ayahku pergi keluar negeri untuk meneruskan bisnisnya. Itulah yang menyebabkan aku jarang bertemu dan mendapatkan kasih sayang dari mereka.

Mungkin karena kurang perhatian itulah, aku menjadi nakal seperti ini. Aku sudah mengenal rokok dan minuman keras sedari SMP. Akupun sering berkelahi dengan teman-teman sebayaku. Bahkan aku juga hampir dikeluarkan dari sekolah karena terlalu banyak membolos. Aku sempat berpikir, andai saja aku punya kakak. Mungkin aku akan mendapat arahan darinya. Dan pasti dia bisa menggantikan peran orang tuaku yang tak pernah ada dirumah.

Bunda sempat menawariku untuk makan siang disini. Namun karena merasa tidak enak, akhirnya aku berpamitan dan memutuskan untuk pulang.

***

Satu minggu kemudian, sepulang sekolah, aku membawa boneka beruang yang sedang memeluk hati untuk Kak Nadia. Ini merupakan tanda terima kasih dariku karena dia telah mengobati lukaku minggu lalu.

Segera aku menuju ke rumah Kak Nadia. Dan untunglah saat ini Kak Nadia sedang berada di rumah. Aku segera memberikan boneka beruang itu kepada Kak Nadia. Awalnya dia menolak, namun karena aku terus memaksa akhirnya dia mau juga menerima hadiah dariku. Dan akupun dipersilahkan masuk olehnya.

Ternyata Bunda sedang ada dirumah. Sementara Kak Nadia memasak didapur, Bunda bercerita banyak tentang Kak Nadia. Bunda berkata bahwa Kak Nadia adalah orang yang kuat dan sabar. Dulu mereka adalah orang yang kaya raya. Mereka hidup mewah dan serba berkecukupan. Namun suatu saat, Ayahnya ditipu oleh rekan bisnisnya hingga ia bangkrut total. Saat itu pula, Ayahnya mendadak terkena serangan jantung dan nyawanya tidak dapat tertolong lagi. Dan akhirnya mereka pun jatuh miskin seperti sekarang.

Bunda juga berkata bahwa Kak Nadia adalah anak yang cerdas. Dia sering mendapat ranking ketika di SMA dulu. Namun karena keterbatasan biaya, dia tidak bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Mendengar cerita Bunda, aku merasa sedih dan terharu. Tak berapa lama, Kak Nadia datang dan berkata bahwa makanannya sudah siap. Aku dipaksa Bunda untuk bergabung makan bersama. Kali ini aku tak bisa menolak. Aku pun menyetujuinya dan kami pun menuju ke meja makan.

Di meja makan, aku sedih ketika melihat mereka hanya makan dengan lauk sederhana. Mereka hanya makan dengan telur, tahu, tempe serta sayur kangkung. Entah kenapa, walaupun hanya makan dengan lauk pauk yang sederhana ini, namun rasanya terasa nikmat sekali. Berbeda jika aku makan di restoran-restoran atau café mahal. Mungkin, suasana di rumah inilah yang membuatku nikmat ketika menyantap makanannya. Suasana harmonis dan penuh cinta yang sudah lama tak aku temukan.

Setelah selesai makan, aku bergegas untuk pulang.

***

Malam harinya aku menemui Ibuku yang kebetulan ada di rumah. Ibuku adalah seorang dosen di Perguruan Tinggi Swasta yang cukup di favoritkan. Akupun berbicara padanya bahwa aku berjumpa dengan gadis yang sangat pintar dan cerdas. Dia juga baik dan pernah membantu aku menyembuhkan luka-lukaku. Namun karena kekurangan biaya, dia tidak bisa melanjutkan kuliahnya. Aku berharap Ibu dapat memasukkannya ke Perguruan Tinggi tempatnya mengajar. Ternyata Ibuku iba mendengar kisahku, pada malam itu juga kami menuju rumah Kak Nadia.

Sesampainya dirumah Kak Nadia, Ibuku menemui Kak Nadia dan berkata bahwa Ibuku akan membiayai kuliah Kak Nadia sampai lulus. Disaat itu pula, Kak Nadia beserta Bunda menangis gembira. Mungkin hanya ini yang bisa aku lakukan terhadap keluarga ini, karena telah mengajarkan makna hidup yang sebenarnya untukku. Setelah kami sedikit berbincang-bincang akhirnya aku dan Ibuku pamit untuk pulang.

***

Satu bulan kemudian…

Akhirnya, Ujian Akhir Semesterku telah usai. Karena sibuk dengan UASku, aku belum menemui Kak Nadia sejak saat itu. Dengan perasaan senang, aku membeli boneka untuk Kak Nadia. Kali ini aku membelikannya boneka Teddy Bear yang dihiasi oleh pita. Menurutku boneka ini sangat lucu apabila disandingkan dengan boneka pemberianku waktu itu. Boneka ini adalah ucapan terima kasihku yang kedua untuknya. Karena berkat dia, aku mulai dekat lagi dengan Ibuku dan mulai mendapat kasih sayang darinya. Dan juga saat ini aku sudah berhenti merokok, mabuk-mabukkan,bolos sekolah dan sudah tidak lagi bertengkar dengan teman sebayaku. Segera kupacu mobil hadiah ulang tahun pemberian Ayahku minggu lalu ini menuju kediamannya Kak Nadia.

Rencananya, hari ini aku akan mengajak Kak Nadia dan Bunda untuk jalan-jalan mengelilingi kota dan mengajaknya makan enak direstoran langgananku. Dengan tak sabar, segera kupacu mobilku menuju rumahnya Kak Nadia.

Sesampainya disana, aku melihat bendera kuning terpampang di depan rumahnya. Aku berpikir pasti ini akibat pemilu yang sudah dekat, jadi mereka menempeli bendera kuning disekitar rumahnya. Ketika aku keluar dari mobil, betapa terkejutnya aku ketika mendengar lantunan surat yaasin di telingaku.

Segera aku masuk ke dalam rumahnya. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat seseorang menggunakan kain kafan sedang tertidur dan wajahnya ditutupi oleh selembar kain. Aku melihat Bunda tengah menangis didepan gadis tersebut. Kakiku mulai gemetar dan mataku sudah tak mampu menahan air matanya.

Dengan perlahan aku mendekati Bunda. Aku memeluknya seakan aku memeluk Ibuku sendiri. Dengan perlahan, aku mencoba membuka kain yang menutupi wajah gadis tersebut. Dan akupun menangis sejadi-jadinya ketika melihat wajah Kak Nadia, orang yang sudah aku anggap kakak sendiri berwajah pucat pasi. Dia juga menggunakan kapas di hidung dan telinganya. Namun walaupun begitu, wajahnya bercahaya dan mulutnya tersenyum. Mungkin ini senyum termanis yang pernah kulihat dari dia. Dengan perlahan, ku mengecup kening Kak Nadia untuk pertama dan terakhir kalinya.

Namun setelah melakukan hal itu, aku segera lari keluar rumah dan menagis sejadi-jadinya di dalam mobil. Jujur, aku tak mampu melihat Kak Nadia tergeletak tak berdaya seperti itu.

Segera aku telepon Ibuku. Dengan terisak-isak, aku mengatakan bahwa Kak Nadia sudah meninggal. Sejenak Ibukupun diam. Tak lama, aku mulai mendengar ibuku menangis terisak-isak juga.

Sungguh hari yang kupikir menjadi hari yang paling menyenangkan sepanjang hidupku malah menjadi hari yang paling tak kuinginkan dalam hidupku.

Sambil menangis, aku mengingat-ingat peristiwa ketika aku bersama dengan Kak Nadia. Namun ketika aku mengingat-ingat hal itu, justru batinku semakin sakit dan air mataku semakin deras mengalir.

***

Akhirnya proses pemakaman telah usai. Namun aku masih menangis ketika melihat nisan bertuliskan nama Nadia Kusuma Putri. Ibuku mencoba menenangkanku dan mengajakku untuk pulang. Namun aku menolak. Akhirnya Bunda mengajak kami menuju ke rumahnya.

Di rumah Bunda, Bunda bercerita bahwa dari dulu Kak Nadia mengidap penyakit ginjal kronis. Namun dia tidak ingin ada orang yang tahu tentang penyakitnya ini, termasuk aku. Bunda juga bercerita bahwa Kak Nadia sering bercerita tentang aku. Dia bercerita bahwa dia ingin sekali punya adik laki-laki sepertiku. Dia juga selalu memeluk boneka pemberianku ketika hendak tidur. Dia berkata bahwa aku adalah orang yang selalu memberikannya semangat untuk tetap hidup.

Bunda juga berkata bahwa untuk membiayai biaya rumah sakit Kak Nadia, Bunda telah menjual rumah ini. Sehingga saat ini dia tidak punya tempat untuk tinggal. Ibuku langsung berkata bahwa Bunda bisa menjadi pembantu dirumah kami dan bisa tinggal dan mengurus kami. Bunda terlihat gembira karena mendapat tempat tinggal baru untuknya. Namun setelah itu Bunda masuk ke dalam kamarnya Kak Nadia.

“Nak Febri, sebelum Nadia meninggal dia ingin Bunda menyerahkan ini ke kamu.” Ucap Bunda sambil memberikanku peci, sarung tangan serta boneka pemberianku dulu.

Mungkin ini egois, orang yang pernah berjasa sebagai pengibar sang saka merah putih, harus meninggal dalam kesulitan dan kemiskinan. Inikah balasan untuk seorang pahlawan yang mengibarkan bendera negara? Mereka diingat sesaat, lalu dilupakan selamanya? Mungkin negeri ini sudah merdeka, namun apakah negeri ini sudah memerdekakan rakyatnya? Dulu rakyat mati-matian membela negaranya, namun kali ini Negara hanya bisa diam ketika rakyatnya sedang berada diujung kematian. Aku yakin, bukan ini yang diharapkan oleh pahlawan zaman dulu. Pejuang zaman dulu rela mati agar anak cucu mereka bisa hidup tenang dan tentram di negeri ini, namun kenyataannya tidak begitu.

Aku menyimpan sarung tangan Kak Nadia di sebelah cerminku, dan pecinya di atas meja belajarku. Sedangkan didalam mobil, boneka Kak Nadia aku sandingkan dengan boneka yang tak sempat aku berikan kemarin. Aku melakukan hal itu agar aku bisa selalu mengingat Kak Nadia kapanpun dan dimanapun.

Bagiku Kak Nadia adalah seorang kakak, sahabat sekaligus pahlawan. Aku membayangkan betapa menyenangkannya apabila Kak Nadia berada di samping jok mobilku saat ini. Namun kenyataan berkata lain. Aku harus ikhlas membiarkan Kak Nadia pergi. Walaupun itu terasa sangat sakit dan perih.

Aku bersandar di jok mobilku dan memandang boneka beruang milik Kak Nadia. Ketika aku memperhatikan lebih jelas boneka tersebut, tiba-tiba aku melihat secarik kertas di belakang lambang hati boneka tersebut. Segera kuambil dan kubaca secarik kertas tersebut.

Setelah aku membaca tulisan tersebut, aku tersenyum bangga karena telah mengenal Kak Nadia. Pahlawan yang tidak pernah diakui dan diingat sebagai pahlawan.


“Aku hidup untuk Negara, sekalipun Negara tidak membutuhkanku, aku akan terus hidup untuk itu” - Nadia Kusuma Putri

***

Created By: Tofan Aditya (Dengan Perubahan Seperlunya)

(Phaluphie, Ayu Zahra, dkk. 2015. Antologi 15 Cerpen Terbaik: Pistol Wak Dolah. Surakarta: Sabana Pustaka.)
Latest
Previous
Next Post »